Berminggu Tenang di Rumata'

Rumata Art Space

Tanggal 6 April 2014 ditetapkan sebagai minggu tenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga hari pencoblosan pemilihan umum calon legislatif (pilcaleg) mendatang. Beberapa hari sebelumnya, ruang-ruang di kota Makassar dijejali dengan baliho, stiker, bendera partai, dan pelbagai alat peraga kampanye yang dipasang secara serampangan. Masyarakat kota Makassar juga sebelumnya telah dibuat kesal oleh arak-arakan kampanye partai yang memacetkan ruas-ruas jalan. Belum lagi ruang dengar masyarakat yang direnggut oleh knalpot motor peserta arak-arakan kampanye.
Rumata’ sebagai rumah budaya di Makassar yang berlokasi di Jalan Bontonompo 12 juga memperingati Minggu Tenang pada 6 April. Ruang dengan halaman belakang yang cukup luas ini kemudian dikemas menjadi lokasi minggu tenang dengan sajian musik, puisi, dan pidato.
Minggu tenang bagi siswa kelas 3 SMA saat ini merupakan hari-hari untuk menentramkan pikiran untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) yang akan berlangsung 14 April mendatang. Bagi para calon caleg, minggu tenang mungkin adalah hari-hari dumba’-dumba’ (Makassar: berdebar-debar), sebab pilcaleg akan berlangsung 9 April mendatang. Hari penentuan, apakah uang kampanye yang digelontorkan tidak sia-sia. Namun, bagi masyarakat Indonesia, menurut Muhammad Hasymi Ibrahim, minggu tenang adalah hari-hari menjernihkan pikiran untuk menentukan pilihan di pilcaleg.
Muhammad Hasymi Ibrahim, sastrawan kota Makassar di Minggu Tenang membawakan pidato “Mengalami Indonesia”. Pidato ini dibawakannya sekira 20 menit. Di bagian awal, Ami sapaan akrabnya memaparkan konsep-konsep mengenai ke-Indonesia-an. Menurutnya, Indonesia saat ini bukanlah proyek final. Kita masih harus terus bekerja dan bergerak untuk Indonesia. Di tengah pidato, barulah dia menyinggung mengenai sistem demokrasi di Indonesia yang menurutnya hanyalah sebuah platform laiknya Android dan iOS. Kita tidak dapat menolak prosedur mutlak demokrasi, tapi kita masih dapat menempuh jalur lain melalui jalur kemanusiaan yang paling asasi yakni, keindahan. Sastrawan yang memulai karirnya di kampus Universitas Hasanuddin ini menjelaskan jalur keindahan dengan cara memandangi baliho-baliho caleg, membaca slogan-slogan mereka, melihat iklan-iklan mereka di televisi, hingga kemudian kita akan tiba pada titik tertinggi tragedi, yakni komedi. Sebuah perbandingan tragis antara tragedi dan komedi. Di akhir, Ami menutup pidato dengan puisi yang dituliskannya di tahun 1994 berjudul Postscriptum Ibu Pertiwi.


Rumata Art Space

Dari poster yang tersebar di sosial media mengenai acara ini, ada Aslan Abidin dan Aan Mansyur yang seyogianya hadir membawakan puisi, keduanya adalah penyair yang tumbuh di kota Makassar. Namun, informasi dari Lily Yulianti Farid mengatakan bahwa Aslan sedang berada di Pare-Pare dan ia tampaknya sedang menikmati minggu tenangnya. Syukurlah, Aan malam itu yang sedang berada di Balikpapan, berminat di telepon untuk kemudian membacakan sebuah puisi berjudul Bermain Petak Umpet.
Rumata Art Space

Minggu Tenang di Rumata’ tampaknya menyedot perhatian beberapa sastrawan dan penulis untuk hadir di tempat ini. Adalah Muhary Wahyu Nurba yang kemudian diminta untuk berada di depan penonton. Sebelumnya membacakan sajaknya yang berjudul Aceh, Kujenguk Hatimu, Muhary memberikan pujian terhadap halaman belakang Rumata’. Menurutnya, banyak hal yang bisa dilakukan selain menata kota ini dengan beton. Salah satunya, dengan menghidupkan halaman rumah. Dan Rumata’ telah memiliki tempat mewah di kota ini, yakni halaman belakang. Ingatan saya kemudian terbawa pada tulisan Anwar Jimpe Rachman berjudul Perihal yang Tumbuh di Halaman.
Dalam tulisan itu, dikutipnya hasil penelitian psikolog Ulrich: “Pasien dengan pemandangan jendela alam menginap di rumah sakit lebih singkat pasca operasi, mempunyai lebih sedikit komentar negatif dalam catatan perawat. Selanjutnya, pasien yang ditempatkan di ruangan yang menghadap dinding bata memerlukan lebih banyak suntikan penghilang rasa sakit.”
Roger Ulrich, psikolog yang mempelajari pasien yang sedang dalam masa penyembuhan di rumah sakit Pennsylvania tahun 1984. Yang mana beberapa pasien tadi ditempatkan di kamar yang menghadap pepohonan kecil pantai di musim gugur. Beberapa pasien lainnya ditempatkan di kamar yang menghadap dinding bata. Dari penelitian itu, kita dapat membaca bahwa bentangan alam, yang dalam skala terkecil, yakni pekaranagan/halaman, memiliki efek penyembuhan kuat terhadap pikiran-pikiran para penghuninya, dibanding bangunan-bangunan berdinding tebal yang merenggut lanskap hidup manusia.


Rumata Art Space

Lily Yulianti Farid, direktur festival Makassar International Writers Festival (MIWF) hadir membuka acara. Menurutnya, Minggu Tenang dapat dijadikan ajang untuk mempertanyakan keberadaan negara. Sebab di tahun ini adalah tahun politik, tahun penuh janji-janji. Selain itu, Lily menginformasikan bahwa di Rumata’ mulai minggu depan akan diadakan beberapa kelas, seperti kelas kerajinan tangan, menulis dan melukis. Penampilan Fandi dari Just Be Good membawakan beberapa lagu-lagu nasional membuat penonton semakin larut dalam Minggu Tenang.
Keberadaan Minggu Tenang di Rumata’ bagi saya, setidaknya menjadi ruang pengobatan dan istirahat terhadap hiruk pikuk pilcaleg. Sebab selepas pilcaleg ini, kita akan berlanjut ke pemilihan umum Presiden.[]
Dipublikasikan di Makassar Nol Kilometer.

Nih buat jajan